memuat…
BANDUNG BARAT – Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung Barat (KBB), menyatakan kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak ditangani.
Berdasarkan data yang tercatat sepanjang tahun 2023, terdapat 14 kasus kekerasan terhadap perempuan di KBB. Itu terdiri dari 6 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan 8 kasus di luar KDRT. Sementara itu, terdapat 7 kasus kekerasan terhadap anak.
“Kasus kekerasan terhadap perempuan mendominasi. Ini seperti fenomena gunung es yang sulit dihilangkan dan malah terus meningkat,” ujar Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, DP2KBP3A KBB, Rini Haryani, Rabu (31/5). /2023).
Menurutnya, kasus KDRT dalam keluarga yang menimpa perempuan tanpa penghasilan seringkali berakhir dengan damai karena terjebak dalam ketidakberdayaan. Seperti kasus terakhir yang dilaporkan dan ditangani oleh DP2KBP3A di Kabupaten Lembang yang menimpa seorang ibu rumah tangga.
Baca juga: Konvoi Kendaraan Dinas Wakil Bupati Pangandaran Bertabrakan Satu Persatu di Ciamis
“Ada ibu rumah tangga yang mengalami KDRT dari suaminya. Dia tidak sempat membawa kasusnya ke pengadilan, korban lebih memilih diperlakukan KDRT,” ujarnya.
Korban memberikan alasan bahwa ia tidak memiliki penopang lain selain suaminya. Dia tidak mampu membesarkan kedua anaknya sebagai ibu rumah tangga tanpa penghasilan. Hal ini diperparah dengan sikap lingkungan yang tidak mendukung pelaporan kasus KDRT.
Diakui Rini, situasi ini merupakan persoalan yang cukup pelik. Di satu sisi, ia ingin membantu menyalurkan bantuan agar para korban tidak terjebak ketakutan. Namun, korban malah menarik diri dari kasus tersebut karena tidak berani mengambil resiko.
Ia tidak menampik munculnya laporan publik tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, menunjukkan bahwa masyarakat mulai melek huruf untuk berani mengungkapkan kasus yang menimpa mereka. Selain itu, sosialisasi terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga dilakukan secara besar-besaran.
“Kami melakukan edukasi dan sosialisasi, melalui komunikasi dan informasi, tapi semua kembali kepada korban. Apakah kasus KDRT yang dideritanya ingin diproses hukum atau tidak, kami tidak bisa mengintervensi,” pungkasnya.
(msd)